Pertengahan April lalu, Tuhan
mengizinkan saya untuk kembali ke Bogor. Kampung Wisata Ciwaluh tepatnya.
Saya beruntung mendapatkan
kesempatan ini setelah beradu foto di Instagram. Kemudian penyelenggara, World
Resource Institute Indonesia memilih saya dan satu kontestan lain sebagai pemenang.
Hadiahnya trip, bro! Apakah seru?
Saya sengaja meliburkan diri
lebih awal dari weekend untuk
menikmati liburan ini. Mampir dulu ke Jakarta, tempat teman saya yang sudah kerja.
And he treated me very well, so thanks. Hehehe.
Perjalanan.
Saya bertemu dengan pemenang lain,
ternyata beliau adalah dosen Teknik Lingkungan Universitas Muhammadiyah
Palangkaraya. Bertemu juga dengan penyelenggara yang ternyata adalah lulusan
Teknik Geologi Intitut Teknologi Bandung. Nyambunglah kita ngobrol tentang
hutan and its related field.
Perjalanan menuju Bogor masih
sama seperti beberapa tahun lalu. Macet. Panas. Masuk ke Lido resort, lagi ada
proyek besar-besaran untuk pembangunan hotel. Dan jalan itu adalah satu-satunya
akses terdekat menuju Kampung Wisata Ciwaluh.
Kami sampai di daerah Balai Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango dan harus berganti kendaraan karena mobil tidak
bisa masuk. Ternyata sudah dijemput sama pengelola wisata Ciwaluh. Dan kami bonceng
motor satu-satu. Jalannya turun, curam banget cuy! Kaya di Dieng. Tapi, pemandangannya beuuhhhhh! Bikin lupa kalo lagi di Bogor.
Setelah deg-degan sepanjang
perjalanan bermotor, sampailah kami di saung Ciwaluh. Daaaaaaan…..
H3h3h3.
Ciwaluh
Tim pemandu wisatanya dipimpin
oleh Kang Sandi. Cerita-cerita dengan Kang Sandi, Ciwaluh masuk di Desa Watesjaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi. Ciwaluh terletak
di lembah diantara dua pegunungan. Kanan kirinya berupa hutan yang masih bagus.
Hanya bagian lembah saja yang dimanfaatkan untuk pemukiman dan lahan pertanian.
Semacam surga yang tersembunyi. Ternyata, pegunungan di kanan kiri Ciwaluh
merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Dan, Ciwaluh
merupakan desa penyangga TNGGP.
Mayoritas warga Ciwaluh hidup
bercocok tanam. Komoditas yang ditanam yaitu padi, kapulaga, kumis kucing. Pertanaman
kumis kucing ini dapat dijumpai di sepanjang jalan dari Balai TNGGP menuju
Ciwaluh. Ada yang berternak juga berupa sapi dan kambing etawa. Ada juga yang bertani
kopi.
Sekolah pun jauh. Harus berjalan
kaki atau naik motor ke arah Lido resort hingga kota.
Catatan:
-
Tidak ada sinyal kecuali Telkomsel, itupun tidak
stabil
-
Masyarakat Ciwaluh tidak ada yang mempunyai
mobil
-
Akang tetehnya geulis
-
Tiap hari hujan
Workshop Kopi
Kami diajak mengikuti workshop kopi Ciwaluh. Mulai dari memetik
buahnya dari tanaman kopi, mengeringkan, menyangrai, menggerus, dan menyeduh
kopi. Tanaman kopi yang ada di Ciwaluh, rata-rata merupakan tinggalan sejak
zaman Belanda yang masuk ke dalam zona pemanfaatan di TNGGP. Untuk memetik saja
harus memanjat tanaman kopi, lho! Disini
tidak diizinkan untuk melakukan permudaan tanaman sehingga produktivitasnya
semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur tanaman kopi. Sebenarnya bukan
hal baru bagi saya untuk mengetahui pengolahan kopi sejak di lahan, namun yang
menarik adalah saya belajar menyangrai terbuka, menggerus dan menyeduh kopi
dengan peralatan yang sudah disiapkan Kang Sandi. Seperti barista yang di coffeeshop ala-ala. Hehe. It was so much fun!
Nah, apa sih spesialnya kopi Ciwaluh? Kopinya lembut, tidak terlalu
asam, dan ada rasa rempah yang kuat. Diduga, rasa rempah berasal dari pertanaman
campuran antara kopi dengan kapulaga dan rempah-rempah lain di hutan. Kabar
baiknya, meskipun produksi kopi sedikit namun kopi Ciwaluh sudah bisa
didapatkan di warkop-warkop sekitar Bogor dan Sukabumi.
Air Terjun Ciawitali
Selesai workshop kopi, kami diajak mengunjungi air terjun Ciawitali. Air
terjun ini bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane yang mengalir sampai
Jakarta. Perjalanannya kurang lebih 30 menit dari saung melewati lahan
pertanian dan hutan.
Airnya swegerrrr. Fresh from the forest!
Bermalam
Bermalam di Jeep Station
Indonesia di Megamendung. Staring at night.
Cold.
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Perjalanan kali ini, kami berniat
mengunjungi hulu sungai Cisadane di TNGGP. Perjalanan kurang lebih 3 jam dari
saung ditemani oleh Kang Sandi, Kang (lupa namanya), Kang (lupa namanya lagi maap) dari Rimbawan Muda Indonesia.
Saya mencoba membedakan hutan di
daerah pegunungan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ini analisis sok tahu saya. Hutan Jawa Barat basah banget. Hutan Jawa Tengah tidak terlalu basah. Hal ini mempengaruhi
struktur vegetasi hutan yang kalau teman-teman mengunjungi akan bisa membedakan
sendiri. Hehehe.
Melewati hutan pinus yang rapat, kami
menjumpai babi hutan, kera ekor panjang, burung-burung, tumbuhan bawah yang
lucu, dan tumbuhan-tumbuhan yang baru saya lihat pertama kali. Trekkingnya menanjak di awal, setelah
itu relatif landai. Baru 1,5 jam perjalanan, matahari sudah di ubun-ubun. Dan hujan.
Dan banyak pacet. Kami menghitung-hitung waktu perjalanan yang kira-kira akan selesai
pada malam hari, sehingga kami memutuskan untuk mengunjungi objek yang lebih
dekat dan tidak jadi ke hulu Cisadane. Huhu.
Kuliner
Kang Sandi dan
tim sudah menyiapkan perbekalan untuk ngaliwet
di sebuah saung tepi sawah. Masak nasi liwet ala Sunda, daging bakar,
tempe, tahu, ikan (lupa namanya), selada gunung, lalapan daun (lupa namanya), dan
sambel (lupa namanya). Makan di saung ditemani musik Sunda dengan hamparan
sawah dan hutan. Persis di FTV pas latarnya tanah Sunda.
*ternyata memori saya pendek untuk mengingat
istilah-istilah Sunda ☹
River Tubing
Makan siang dilanjutkan dengan tubing di sungai Cisadane. Sungai
Cisadane disini jangan dibayangkan seperti di Jakarta ya. Masih Alirannya tidak
terlalu deras, medannya cukup menantang, dan keamanannya terjamin. Baru pertama
kali tubing nich saya. Seru ugha ternyata.
Tentu saja yang saya dapatkan
lebih dari apa yang bisa saya tulis disini.
Thank you, Ciwaluh! Thank you
WRI Indonesia!
I wanna go back later then!
Mantul......
ReplyDelete