"Pak, jati yang di belakang rumah kita jual aja ya?"
"Buat apa, Bu?"
"Kan bentar lagi lebaran. Ibu udah lama ndak ngasih apa-apa ke cucu-cucu. Pengen beli peci buat Abi, Firza sama Akib."
"Iya ya, Bu? Bapak baru ingat terakhir ngasih peci pas Abi umur 2 tahun. Sampai sekarang udah lulus SD ya, Bu?"
"Iya, Pak. Abi udah lulus SD."
"Ya udah, Bu. Jati di dekat kandang aja yang kita jual. Masih ada beberapa jati muda untuk kita simpan."
"Ya, Pak. Besok Ibu bilang ke Pak Karmun kalau kita mau jual jati ke beliau. Sekalian mau ketemu Bu Yah."
"Iya, Bu. Lumayan kalau laku tinggi, bisa buat bayar zakat dan belanja lebaran. Nanti sisanya buat nambahin tabungan haji kita."
"Ibu setuju, Pak. Semoga menjadi jalan kebaikan untuk kita."
Percakapan antara Bu Sabi dan Pak Ngudi beberapa waktu lalu membuat saya trenyuh. Selayaknya mayoritas masyarakat di pinggiran sungai Bengawan Solo, jati menjadi tumpuan hidup disamping ternak. Tak terkecuali untuk kebutuhan lebaran atau Hari Raya Idul Fitri bagi sepasang suami istri yang kini menikmati usia senja mereka. Menanam dahulu sekali sejak usia muda, untuk kemudian menjadi simpanan saat tua. Bagi mereka, jati adalah investasi. Investasi yang bisa setiap saat digadaikan untuk berbagai keperluan melengkapi tuntutan zaman.
Jati, hutan, dan masyarakat pinggiran Bengawan Solo sudah melekat. Menjadi suatu ekosistem yang erat. Satu dan yang lain saling terikat.
Foto: Desa Ngrawoh, Kec. Kradenan, Kab. Blora
Comments
Post a Comment