Sebagai orang kampung yang
bekerja di Ibukota, saya tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagia ketika
masyarakat akhirnya diizinkan untuk mudik dengan cuti yang cukup panjang. Dua tahun
kemarin menjadi tahun tersedih karena tidak bertemu dengan keluarga di kampung
halaman, dan lebaran tahun ini sepertinya menjadi ajang balas dendam setelah
dua tahun absen. Orang-orang keranjingan pulang kampung demi melakukan banyak
hal di kampung.
Saking semangatnya mudik, saya
sudah menanyakan tiket kepada teman saya yang bekerja di agen perjalanan
jauh-jauh hari sebelum Ramadhan, bolak-balik membeli beberapa barang di Pasar
Tanah Abang, dan tentu saja mengumumkan kepulangan saya kepada Ibu, Bapak, Mas,
Mba, adik-adik, keponakan-keponakan, dan Simbah saya. Maaf, saya norak banget,
karena sesenang itu bisa mudik, huhuhu.
Sebagai bekal, sebagaimana lebaran
pada umumnya, lini masa sosial media saya dipenuhi beragam daftar hal-hal yang
perlu disiapkan sebelum berlebaran di kampung. Tidak lupa pertanyaan yang
mungkin akan ditanyakan oleh sanak saudara ketika silaturrahim. Hmm, sebenarnya
tidak juga berbeda dari pertanyaan tahun sebelum-sebelumnya. Beberapa
pertanyaan mungkin akan berulang dan terasa mengganggu bagi sebagian orang.
Seminggu sebelum hari raya saya
sudah di rumah. Mendapati anggota keluarga lengkap, beuh, rasanya marem (Ini
apa ya Bahasa Indonesianya?) dan tenteram sekali. Saya yang di Jakarta malas
memasak untuk saya sendiri, mendadak jadi rajin masak di rumah. Saya minta
dibelanjakan ini-itu untuk dimasak di rumah. Saya juga bergegas mengantarkan
Ibu dan Mba saya bolak-balik ke pasar untuk belanja keperluan lebaran. Saya
main bersama keponakan-keponakan bocil yang tidak pernah capek. Demi sedih
melihat rumah yang berantakan tidak terurus, saya mengomandoi adik-adik saya
untuk beberes. Bapak saya keheranan anak perempuannya sibuk sekali, dipikir calon
saya mau datang. Bukan Pak, belum. Sesaat kemudian saya berpikir, “Oh
iya ya, why did I do this?” Then I realized, I was just super-duper
excited to finally come home.
Menjelang malam takbiran,
keluarga saya sudah yakin bahwa hasil sidang Isbat akan memutuskan hari raya
Idulfitri jatuh pada Senin, 2 Mei 2022. Kami ziarah ke makam Mbah Buyut di
kampung sebelah. I felt so strange. Bukan, bukan karena tidak nyaman
berinteraksi dengan peziarah lain. Lebih karena, sudah sekian lama saya tidak
ziarah ke sini. Beribu maaf, Mbah Buyut. Nampak sedikit bunga mawar masih baru
yang dihamparkan di pusaranya. Beribu maaf pula, Mbah Buyut, mawar di depan
rumah kami yang tidak seberapa itu sudah duluan dipetik orang. Mungkin untuk saudara
Mbah Buyut juga, biarlah.
Tiba saat salat Ied, saya
ternganga melihat masjid kampung begitu megah direnovasi. Subhanallah! Warganya
hanya bertani dengan penghasilan tidak menentu, namun mampu memakmurkan rumah-Mu
sedemikian rupa. Iri sekali saya, kaya hati betul orang kampung sini. Berkahilah
kehidupan mereka, Ya Allah.
Allahu akbar. Takbir kedua kali
di rakaat pertama, mak tratap, pikiran saya melayang jauh ke masa
sebelum pandemi, tiba-tiba memasuki dunia aneh bernama pandemi, kemudian keadaan
sekarang hampir pulih lagi. Bisa ya, Allah berkuasa memberikan kehidupan
seperti itu kepada umat manusia? Hus, malah mikir pandemi. Allahu akbar (sampai
selesai takbir). Sabbihisma rabbikal a’lalladzii khalaqa fasawwaa. Ya
Allah, lantunan suara imam masih persis sama dengan yang saya dengar lima belas
tahun lalu saat beliau mengajar mengaji. Hati ini serasa jatuh ke ubin masjid,
dingin dan nyaman sekali. Hus, malah mikir masa kecil.
Tradisi di kampung saya (dan
mungkin banyak dari teman-teman juga), silaturrahim ke tempat saudara baik
dekat maupun jauh adalah wajib. Ibu saya dan saya sempat tidak sengaja bertemu
dengan Mbah jauh di kampung lain yang terakhir berkabar waktu lebaran tahun
lalu saat berbelanja di pasar. Kami diomeli habis-habisan karena tidak pernah
saling berkabar. “Tidak ada orang punya meninggal apa punya hajat kah? Kalau
punya hajat tidak apa-apa tidak mengundang, toh baru senang. Kalau ada
kerabat yang meninggal, mbok ya tolong dikabari. Sedih sendirian itu
tidak enak.” Lalu saya termenung memaknai ucapan beliau. Yes, villagers are genuinely
happy/sad for us. No more.
Hari H lebaran, saudara-saudara jauh pada datang.
Bapak saya agak dituakan, jadi banyak saudara yang datang ke tempat kami. Jujur,
tidak semua saya kenal. Namun, ketika mereka menanyakan keadaan saya, tentu
saja saya gembira mendapati pertanyaan itu. Begitu pula ketika saya mendengar
bahwa mereka baik-baik saja, alhamdulillah, bersyukur sekali. Mendapati sanak
saudara sehat dan masih bisa menjalani hidup dengan baik, itu lebih dari cukup
mengingat pandemi memporak-porandakan kehidupan fisik, mental, dan ekonomi jutaan
manusia di seluruh dunia. Tidak terbayang bagaimana mereka berjuang untuk
melewati semuanya, hingga akhirnya bertemu di momen ini.
Lalu, apakah pertanyaan sensitif
muncul? Ya, maafkan orang yang (maaf) fikirannya belum sampai itu. Alih-alih difikirkan
terlalu dalam, kita bisa memilih untuk memikirkan itu sebagai bentuk perhatian
mereka, serta sebagai doa. Kata Bapak saya, “jembarno atimu (luaskan hatimu)”.
Any negative thoughts are just ours. Doakan balik yang baik-baik saja
bukan? Jika silaturrahim memperpanjang umur, maka terbayang berapa umur kita
yang terpotong gara-gara pandemi ini. Maka selagi ada umur yang mana sudah
terpotong itu, let’s just do good, right? (note: it works for me
yaa)
Sungguh, lebaran kali ini hati saya terasa penuh. Mongkog. Meskipun fisik capek, hahaha. Sebagai asisten dapur Ibu saya, tentu saja capek. Memasak porsi besar, cepat pula habisnya. Mencuci piring dan gelas banyak, cepat pula nambahnya. Habis bikin lagi, habis bikin lagi. Anak tetangga pada main petasan. Dilarang pemerintah sih, berisik pula, tapi siapa bisa menghalangi anak kecil untuk berbahagia. Belum keponakan yang mengacau rumah, huah ada-ada saja. Berbagai kiriman di sosial media juga menyenangkan sekali.
Tumpah
ruah kebahagiaan di hari raya ini. Semoga Allah SWT mengampuni dosa kita semua. Semoga ibadah kita di bulan Ramadhan diterima Allah SWT. Semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan dan Idul Fitri di tahun depan.
Berkah, berkah, berkah.
Comments
Post a Comment