Wakatobi, 24 Desember 2018.
Yeay! Malam pertama di Wakatobi. Tepatnya
di Pulau Wangi-wangi. Paginya aku excited jalan-jalan mengenali udara sekitar
dan mencari sarapan.
Kami ke pasar, sontak menjadi
pusat perhatian semua orang di pasar. Orang Jawa ya, mereka bertanya. Tertarik
dengan pisang goreng, lalu kami beli. Uniknya, pisang goreng disini besar-besar
ukuran setengah buah aslinya, harganya only 1K, dan dikasih sambel dong. Kami juga
menjumpai snack-snack jajanan pasar macam di Jawa. Pencarian sarapan kami
lanjutkan hingga akhirnya ketemu nasi kuning. Penjualnya orang Solo yang sudah
lama menetap di Palu, terdampak tsunami, dan baru pindah di Wakatobi satu bulan
yang lalu. Pricelist warung nasi kuning:
Nasi kuning ikan: 7K
Nasi kuning telur: 7K
Nasi kuning ikan+telur: 10K
Nasi kuning ayam: 10K
Perjalanan kami lanjutkan ke area
belakang kantor WWF yang sengaja di bangun semacam dermaga dari batuan karang. Ini
kali pertama kami mengamati kehidupan orang Wakatobi. Bapak-bapak membersihkan
kapal, ibu-ibu mencari apa ituu hewan laut mirip sosis ituu, nenek-nenek membuat
api di rumah panggung, anak-anak mandi, ibu-ibu mencuci, dan beberapa aktivitas
lain.
Setelah itu, kami sudah disiapkan
untuk upacara penyambutan di kantor Pemkab. Pemkab luar biasa baik dalam menyambut
kami, terutama dibawah koordinasi Pak Nasri yang sejak awal menyambut kami di Bandara
Halu Oleo.
Bicara tentang Kabupaten
Wakatobi, ini cukup menarik. Sebagai Kabupaten yang baru berusia 15 tahun,
infrastruktur yang dimiliki sudah cukup memadai. Kabupaten Wakatobi sedang
gencar-gencarnya memperbaiki infrastruktur dan pelayanan, setelah menjadi top
10 destinasi pariwisata di Indonesia.
Ceritanya, di depan kantor Pemkab
ada lapangan kecil yang kami duga merupakan alun-alun kota. Di salah satu sudutnya,
terdapat penjual es campur. Mampirlah kami. Es campurnya enak: kelapa muda, roti
tawar potong, sagu mutiara, kacang telur oven, sirup, rumput laut. Only 7K.
Habis upacara, tim KKN kami
bersiap untuk berbelanja kebutuhan harian KKN di pasar mulai dari sabun hingga sapu,
ember, dan lain-lain. Harga sabun dan sembako relatif sama dengan di Jawa, namun
harga peralatan rumah tangga seperti sapu, ember, dll cukup signifikan.
Sorenya, Pemda mengajak kami
jalan-jalan ke pantai. Sumpah, Pemda bwaiiiiiiiiik banget. Pertama, kami ke Pantai
Cemara dengan bus yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor WWF. First time
ke pantai Sulawesi nich. Ombaknya santai, airnya bening, pasirnya haluuuuuuuus
banget. Pemandangannya cukup berbeda dengan pantai-pantai di pesisir selatan
Jawa. Kapal kecil nelayan, anak-anak berlarian, muda-mudi jalan-jalan. Fasilitas
di pantai ini cukup lengkap dan banyak spot foto.
Ini kali pertama kami menemui
orang-orang lokal. Cantiknya natural. Beberapa merupakan perpaduan antara Indonesia
barat, Indonesia timur, dan sedikit Portugis. So, special.
Destinasi ke dua di penghujung
senja adalah ke Sombu Dive. Whoa! Ini yang ada di MTMA itu coy! Gila sih! Duh,
I can’t describe this place well. Pokoknya baguuuus banget. Katanya, tempat ini
surge bagi para penyelam.
Lepas itu, kami makan di warung yang
kami kira masakan padang, tapi ternyata masakan Jawa. Pemiliknya orang
Kulonprogo. Wkwk. Rasanya Padang-Jawa gitu deh. Kami sudah tidak lagi kaget
dengan harga makanan disini karena emang mahal-mahal huhuhu. Nasi ayam 20K,
tambah es jeruk 10K.
Malamnya, kami lanjut packing
dengan sub unit dan klaster.
Setelah itu, Pak Derajad mengumpulkan
kami. What will happen next? Ternyata, ada hal yang kami lupakan.
Ethics!
Rapat dengan Pak Derajad seolah
menjadi oase di tengah hectic permasalahan teknis KKN.
Berkali-kali diingatkan tentang
etika. Satu-satunya benteng terakhir manusia yang tidak akan tergerus masa.
Comments
Post a Comment