Merry Christmas, Yunefa!
Teman kami, Yunefa, hari ini
merayakan Natal.
*
Masih di
Wanci, hujan turun pagi-pagi di jam yang sudah kami sepakati. Semua barang, dan
peserta sudah bersiap untuk meninggalkan kantor WWF menuju ke lokasi KKN. Bus
Pemda setia mengantarkan kami menuju Pelabuhan Mola untuk melepas kepergian
kami. Yaa, candaan khas anak-anak mewarnai perjalanan kami di dalam bis. Pelabuhan
Mola ini berupa dermaga kecil yang luasnya tidak lebih dari lapangan sepak
bola. Ada beberapa penjual minuman segar, ikan, dan barang-barang untuk
bepergian.
Tanpa diduga,
ternyata kantong kresek tempat telur kelompok kami berlubang besar. Jadilah
telur kami jatuh di jalan, bahkan ada satu yang jatuh di dalam bis. Akhirnya
kami bereskan seadanya dengan tisu dan plastik seadanya. Niat kami, sampah ini
akan kami buang ke tempat sampah di pelabuhan. Ternyata kami tidak menemukan tempat
sampah. Akhirnya kami titipkan kepada salah satu ibu penjual minuman di dermaga
dengan harapan akan dibuang bersama dengan sampah yang lain. Eh! Kami kaget
kemudian. Ibu tersebut langsung saja membuang sampah yang kami titipkan ke laut.
Kami merasa melempar batu sembunyi tangan. Sampah itu sama saja kami buang ke
laut, namun melalui tangan orang lain. Ada semacam tanggung jawab moral bagi
kami untuk membayar kesalahan kami nanti di Kaledupa.
Naik kapal
Wangi-wangi ke Kaledupa ini menjadi pengalaman pertama bagi sebagian kami. Rela
duduk di geladak kapal berjajar macam pengajian demi menikmati perjalanan. Ombak
yang tenang, angin yang sepoi, panas yang bersahabat. Ah, syukak pokoknya! Dua
jam di perjalanan cukup lama ternyata. Kami tidur dengan sapuan sinar matahari
yang tidak terlalu terik. Di tengah laut, sempat-sempatnya kami mengecek
koneksi internet. Dan, surprised! Terkadang masih ada koneksi internet di
tengah laut. Kami sempatkan untuk membuka Google Map dan mendeteksi lokasi kami.
Tiap mendekati daratan, kami menduga-duga apakah itu pulau Kaledupa atau bukan.
Dna ternyata bukan. Gitu aja terus. Monmaap, emang norak semua kami ini wkwk.
Saat hampir
ke daratan, kami melihat kampung suku Bajo yang berada di atas laut seperti di
HP dan TV yang sering kita lihat, kini ada di depan mata. Singkat cerita,
sampailah kami di Pelabuhan Ambeua. Pelabuhannya kecil, di samping Kawasan mangrove.
Dugaanku, pelabuhan ini dulunya merupakan bagian dari kawasan mangrove, dan
kawasan ini semakin terkikis seiring dengan ramainya pelabuhan Ambeua.
Tim Mantigola
dan Horuo langsung dijemput oleh pemerintah desa (Pemdes) masing-masing, naik
pick up menuju ke kantor kecamatan Kaledupa untuk upacara penerimaan. Giliran
tim Pajam tidak segera dijemput oleh Pemdes dan harus menunggu beberapa waktu. Karena
gerimis kami putuskan untuk berteduh dengan membawa barang angkutan layaknya
mahasiswa KKN yang luar biasa banyak.
Fyi, Desa
Mantigola dan Horuo tergabung dalam kecamatan Kaledupa, sementara itu Desa Pajam
merupakan bagian dari kecamatan Kaledupa Selatan. Tim Pajam memang spesial.
Setelah dijemput paling terakhir, pada saat upacara di kecamatan pun kades kami
dengan sendirinya tidak hadir. Ok!
Kami
sampaikan perpisahan ke teman-teman Mantigola dan Horuo selepas upacara di
kecamatan. Tim Pajam langsung menuju ke desa Pajam. Dan, wow! Ternyata Pajam di
tengah-tengah pulau yang sebenarnya, dan paling tinggi. Jalan khas karst, naik,
bergelombang, liku-liku. Tapi kami paling terhomat, karena ditemani oleh Pak
Camat Kaledupa Selatan yang sengaja meluangkan waktunya untuk hadir di
Kaledupa, dan DPL kami Pak Derajad.
Sepanjang
jalan, Pak Camat bercerita mengenai gambaran kondisi Pajam baik secara
geografis maupun secara sosial. Beliau juga menyampaikan perjuangan LSM dalam
upaya memberdayakan masyarakat Kaledupa. Sepertinya, KKN kami akan penuh dengan
cerita dan tantangan.
Kami
diantarkan ke rumah Ibu Pak Camat di Pajam, karena kebetulan beliau asli Pajam.
Ibu Pak Camat super baik, dan menyambut hangat tim kami. Rumah semi panggung
yang permanen. Sekilas rumah Ibu Pak Camat tampak mencolok dibandingkan dengan
rumah di sekitarnya dan menandakan kehidupan yang lebih baik. Kami kira, kami
akan ditempatkan di rumah Pak Camat. Ternyata kami diantarkan menuju rumah
salah seorang penduduk yang tidak jauh dari rumah Ibu Pak Camat.
Rumah
panggung dengan kolong batuan karang yang menonjol. Kami disambut wanita muda,
namanya Mama Kia. Mama Kia berarti Ibunya Kia, anak bungsunya. Mama Kia
mengenalkan kami pada Mama Indah, pemilik rumah yang masih ada hubungan
keluarga dengan Pak Kepala Desa Pajam. Kesan pertama kami dengan Mama Indah:
ramah dan penyayang. Mama Indah mengenalkan kami pada keadaan rumahnya.
Oke, kita ke
deskripsi rumahnya. Rumah panggung yang luaaaaaaaas banget, dinding dari kayu, lantai
depan dari kayu, lantai belakang dari bilah bambu. Hal yang menarik: tempat
cuci dan sumur tadah hujan. Lantai yang terbuat dari bilah bambu ini menawarkan
kemudahan dalam mencuci. Kita tidak perlu susah-susah membuat saluran air,
tinggal grujug saja air bekas cucian ke lantai dan akan sampai ke kolong bawah.
Ini sangat menyenangkan bagi kaum perempuan. Sumber air utama di Pajam adalah
air hujan. Selain itu, ada sumur di lembah pegunungan atau bisa juga membeli air
dari pemasok. Air hujan yang turunnya tidak tentu ini akan dipanen melalui
talang rumah dan ditampung ke dalam sumur tadah hujan untuk dapat digunakan
sewaktu-waktu. Setiap warga biasanya mempunyai sumur tadah hujan
sendiri-sendiri dengan daya tampung bervariasi. Sumur punya Mama Indah luas dan
dalam dengan volume tampungan bisa mencapai 20000 liter kali ya? Pokoknya gede
deh. Ini kami tidak tahu, berapa usia air yang ada di dalam sumur, kami pakai
saja hehe.
Mama Indah
bercerita mengenai sejarah dan budaya di Kaledupa, mulai dari tenun Pajam,
tarian Lariangi, makanan khas, dan lain-lain. Ini kali pertama pula kami
mendengar, ku poilo ko. Artinya, aku
cinta kamu. Hehe. Mama Indah juga mewanti-wanti kami barangkali suatu saat terdengar
suara dug-dug di lantai seperti orang berjalan, itu orang baik yang menjaga
kami di rumah. Gimana? Serem ga tuh?
Mama Indah hidup
di rumah sendiri, dan kadang-kadang saja pulang ke rumah yang kami huni di
Pajam ini. Beliau kebanyakan tinggal di rumah anak-anaknya, di Langge, Buranga,
dan desa lain di Kaledupa. Beliau, kemudian pamit karena sudah dijemput cucunya
untuk pulang ke Langge.
Selepas itu,
kami berbagi kamar laki-laki dan perempuan, menentukan ruang rapat, dan sholat.
Tiba-tiba hari sudah sore saja. Kaum laki-laki pergi sholat ke masjid sekaligus
survei dan memulai interaksi dengan warga. Sementara itu, Pak Derajad yang
tadinya mengobrol dengan Pak Camat di rumah Ibu Pak Camat, mengunjungi pondokan
kami. Beliau juga menyampaikan beberapa hal yang perlu kami tahu seperti norma
yang berlaku, adanya konflik vertikal yang perlu kami sikapi dengan bijak, dan pesan-pesan
untuk KKN kami. Beliau kemudian pamit pulang menuju ke Mantigola dan Horuo.
Drama
selanjutnya adalah mandi dalam keadaan susah air. Akhirnya kami berpencar
menuju ke rumah Mama Kia, Ibu Pak Camat, dan tetangga untuk mandi. Itu karena
kami belum siap untuk mandi di pondokan kami sendiri, mohon maaf.
Drama lagi. Kami
berhadapan dengan kompor minyak tanah yang sepertinya sudah lama tidak
digunakan. Beruntung, Jafar bisa mengoperasikan kompor itu. Dengan kondisi
sangat lapar, karena makan terakhir pada malam hari di Wanci, kami berupaya
sekuat tenaga untuk masak bekal mi instan kami. Masak pertama di kompor minyak untuk
sepuluh orang. Yeay!
Kenyataan
lain yang harus kami hadapi adalah aliran listrik yang hanya menyala pada jam 5
sore hingga 5 pagi.
Malamnya kami
lanjutkan dengan rapat perdana kami membahas kebutuhan pondokan, kesepakatan
tim, dan agenda kerja kami.
A tiring yet exciting
day!
Comments
Post a Comment