Hari
berikutnya, bekerja bakti mengisi air di bak mandi, memperbaiki talang air, dan
membangun rumah tetangga. Di rumah kami terdapat dua bak mandi yaitu di atas
dan di kolong. Bak mandi di atas berupa sumur tadah hujan. Tadinya hanya ada
talang kecil yang mengalirkan satu air hujan dari satu larik genteng saja. Oleh
karena itu, kami memasang talang dengan jangkauan genteng yang lebih lebar agar
lebih banyak air tertampung. Sementara itu, ada satu bak mandi di bawah yang
tidak lagi dipakai. Kami bejibaku membersihkannya dan berniat mengisi air yang
akan kami beli. Dari sini pula, kami merencanakan untuk membeli air dari warga
desa di Lembah Kaledupa. Mereka mematok harga 50.000 untuk 1.200 liter air
bersih. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi kami bahwa air sangat berharga
disini, dan lebih bijak dalam menggunakan air.
Sore hari, kami
memutuskan untuk singgah ke rumah ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Pak
Mulyadi yang ada di Desa Jamaraka. Kami berbincang dengan Pak Mul cukup banyak
terutama mengenai permasalahan sosial di Desa Pajam yang cukup mencolok. Yang
kami salutkan dari Pak Mul adalah pemikirannya yang sangat maju untuk
menggerakkan Pajam dan bagaimana beliau berjuang merealisasikannya. Sementara
itu, kami beruntung bertemu dengan Mama Harlina, istri Pak Mul yang kebetulan
ketua kelompok tenun di Dusun Jamaraka, nama kelompoknya Panglia. Beliau menunjukkan
karya-karya tenun dari kelompoknya yang membuat kami tertarik untuk datang dan
mengulik lebih jauh suatu saat.
Ini kali
kedua kami (tim perempuan) datang ke rumah Pak Mul, tapi kali ini kami ingin
belajar tenun bersama kelompok tenun yang dipimpin oleh Mama Harlina. Kami diberi
tahu beberapa ketentuan dalam menenun mulai dari motif, benang yang digunakan, tata
waktu, pemakai, harga, dinamika kelompok, manajemen keuangan kelompok, dan
lain-lain. Kami akan ceritakan detailnya nanti lagi.
Sementara itu, tim laki-laki terbagi menjadi
dua. Firhan dan Jafar main tenis bersama anak-anak dan karang taruna, Bajidi
dan Beng menghadiri rapat unit di Horuo. Lalu, kami pulang sama-sama.
Masih kondisi
gerah, kami membeli pop ice yang dijual tidak jauh dari pondokan. Padahal mati
lampu. Kok bisa pakai blender? Setelah kami telusuri, Ibu itu menggunakan aki
untuk menyalakan blendernya. Tapi masih menjualnya dengan harga normal seperti
di Jawa. Wow!
Comments
Post a Comment