Pagi di
Pajam.
Mungkin
karena kelelahan, waktu Subuh kami bangun untuk sholat, habis itu tidur lagi
hehe. Namun, Haha dan Alfi memutuskan untuk jalan-jalan pagi mengitari Dusun Palea. Mereka menjumpai warga yang beraktivitas pagi hari, mulai dari hanya
duduk santai, membuka toko, membuat api, membuat kasuami, dan lain-lain. Juga
mengamati keberadaan warung, counter pulsa, bangunan SD dan SMP, Benteng
Kamali, sekretariat tenun ikat Djalima, rumah tenun modern, dan masjid. Kebanyakan
warung disini merupakan toko kelontong yang menjual bahan kering, tentu saja tidak
selengkap toko kelontong di Jawa. Counter pulsa disini pun hanya menjual pulsa
saja, tidak menjual kartu perdana. Bangunan SD dan SMP sudah permanen dengan
sarana prasarana dan tingkat keamanan yang kurang memadai. Benteng Kamali
merupakan “keraton” yang sakral dan tidak boleh dimasuki oleh masyarakat umum
sembarangan. Rumah tenun berupa dua macam yaitu modern dan tradisional. Sepanjang
jalan berjumpa dengan pohon nangka yang sedang berbuah. Buahnya dibungkus
dengan bronjong dari daun kelapa yang dianyam. Bagus!
Waktu mau
pulang, kami berjumpa dengan seorang anak kecil perempuan yang keliling untuk
berjualan donat. Namanya Melati. Donat hasil buatan ibunya dijual seharga 1000 per
biji. Kami membeli karena penasaran dengan citarasa donat Kaledupa. Kami
cicipi, rasanya sama dengan donat di Jogja.
Sepulang
jalan-jalan, pondokan kami sudah ramai dengan anak-anak SD yang sengaja ingin
main dan berkenalan dengan kami. Wuah, ramai sekaliii! Kami berkenalan dengan
Yasmin (lama kelamaan kami panggil Amin), Ilham, Anas, Neni, Melati, Kian, dan
kawan-kawannya. Main pantun, menyanyi Indonesia Raya, belajar membaca, pokoknya
seru deh! Kali pertama mereka datang masih menyenangkan bagi kami. Kami belajar
pantun lokal.
Matematika (1)
Matematika,
Mati di
Amerika.
Saya
kawinkan,
Bang Jidi
dengan Kak Herma.
Matematika (2)
Matematika,
Mati di
Amerika.
Datang
Belanda,
Ditembak
jatuh cinta.
Berinteraksi
dengan anak-anak Pajam memberi informasi bahwa mereka kurang perhatian dari
orang tua mereka dan mereka dididik dengan cara yang cukup kasar.
Ada cerita
yang menarik tentang Yasmin a.k.a. Amin.
Amin yang
giginya gerepes atas dan hitam-hitam, menggigit srikaya mentah, dan giginya
berdarah hingga hampir copot. Wkwk.
Lain cerita,
dia tiba-tiba berak di celana. Laporlah dia ke Firhan, teman kami. “Bang
Firhan, aku eek di celana”, dengan ekspresi memelas dan langkah kaki lebar dan berat.
Melihat kondisi itu, teman-temannya langsung mengecek ke bagian pantat dan melihat
tanda berak disana. “Iya, kamu eek di celana!”, seru mereka. Panik, Firhan
tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya dia menyuruh Amin untuk pulang. Dan
pulanglah dia dengan jalan terkekeh-kekeh. Lalu, kami pun tertawa.
Ini hari
pertama pula kami bertemu dengan anak SMK tetangga kami. Namanya Kartika Wa
Ode. Orangnya asix banget dan mudah beradaptasi dengan orang baru. Jarak
rumahnya hanya tiga meter dari pondokan kami. Sebagai tetangga sekaligus host
desa yang baik, Tika sering sekali menawarkan bantuan untuk mandi, masak, mengantar
ke pasar, mengajak jalan-jalan, ataupun sekadar main ke pondokan.
Sore harinya,
Pak Desa datang ke pondokan kami. Sekadar bertegur sapa dengan kami. Sejujurnya
kami beberapa kali mendengar beberapa omongan tentang Pak Desa, dan sekarang
kami membuktikannya sendiri. Ngobrol kesana kesini, dan pada akhirnya kami
ditinggal telfonan sama beliau. Perasaan tidak enak untuk meninggalkan beliau,
namun juga mengantuk dan bosan untuk menunggu beliau. Mohon maaf Bapak, kami
memang agak kurang ajar huhu. Dan di forum-forum berikutnya, kami mengetahui
bahwa Pak Desa ini memang gemar sekali telfonan. Dan beliau akhirnya pamit saat
adzan Maghrib.
Kami sholat
Maghrib di Masjid Palea. Di masjid terdapat 4 jamaah laki-laki dan satu
perempuan. Saat Maghrib di Masjid pula tim kami laki-laki berkenalan dengan
Bang Jumlani dan mengajaknya ke pondokan kami. Beliau tetangga kami yang sudah
lama merantau di Kalimantan dan kebetulan pulang. Seperti halnya warga desa
yang sudah pernah merantau, pemikiran beliau sangat maju dan terbuka. Beliau
mengkhawatirkan kondisi kenakalan remaja di Pajam yang semakin menjadi-jadi,
dan masjid yang semakin sepi. Bang Jum berencana balik ke perantauan awal
Februari, Hal ini menjadi peluang kolaborasi yang asik bagi kami khususnya.
Karena sudah
berjanji dengan Pak Desa untuk berkunjung ke rumahnya malam hari, kami kesana
ditemani dengan Bang Jum. Ini pertama kali kami keluar rumah bersama-sama.
Rumah kami kunci dengan aman sesuai yang diajarkan Mama Indah. Sampai di rumah
Pak Desa, kami menjumpai Amin, Lala, dan Kia yang sedang bermain dan belajar.
Kami mengenal mereka lebih dekat dan mempelajari kultur orang tua di Pajam
dalam mendidik anak mereka di rumah. Pak Desa sebagai kakek Amin pun mengatakan
bahwa Amin bodoh, dan Lala yang pintar. Kami mulai awas dengan hal ini.
Obrolan
berlanjut hingga jam 9 malam. Kami berpamitan pulang dan tersadar bahwa kami
tidak memegang kunci gembok rumah karena kelupaan untuk meminta dari Mama
Indah. Wkwk. Bang Jum tidak kehabisan akal. Beliau mengambil obeng di rumahnya
untuk melepas rantai gembok, dan jadilah pintu terbuka. Akhirnya kami bisa
masuk hehe. Dari hal ini, kami mendapat pelajaran bahwa Desa Pajam ini
sebenarnya aman dari pencurian, sehingga rumah ditinggalkan tanpa terkunci pun
akan aman.
Hari ini kami
tutup dengan cerita kocak tentang Amin.
Comments
Post a Comment