Wakatobi
notabene dikenal sebagai daerah dengan kekayaan laut melimpah. Oleh sebab itu,
kami sangat ingin mencicipi ikan-ikan disini. Sayangnya ada satu anggota kami
yang tidak doyan ikan, Haha.
Kami mulai
kehabisan bahan dapur, dan ingin belanja ke pasar. Pasar terdekat dari Pajam
yaitu Pasar Buranga dan Pasar Ambeua. Buranga berada sekitar 2 km dari pondokan
kami, buka sangat pagi hingga jam 5.30, banyak sayuran segar disana. Sementara
itu, Pasar Ambeua berada di dekat pelabuhan dengan jarak 13 km dari pondokan, buka
pagi hingga sore hari, dengan produk yang lebih lengkap disertai minimarket di
sekitarnya. Karena tidak ada yang mampu bangun dini hari diantara kami, akhirnya
pergilah kami ke Pasar Ambeua. Sebenarnya hanya Alfie dan Beng saja hehe.
Pulang dari
pasar, kami mendapati seorang Ibu berjualan ikan mormar atau ikan kunir yang
lewat depan pondokan kami. Satu ekor dihargai Rp2.000,00. Murah, cuy! Tapi
betapa kagetnya kami setelah diberi tahu pricelist sayuran yang dibeli di Pasar
Ambeua. Kangkung seharga 5.000,00 per ikat, normal. Terong seharga 20.000,00
per kg, wow! Buncis seharga 25.000,00 per kg, duh! Bawang bombay seharga 10.000
per buah, gila!
Pagi itu
juga, anak-anak kecil semakin ramai berdatangan. Mereka mengenalkan teman-teman
mereka yang baru dating kepada kami. Semakin kesini, mereka semakin berani
gelayutan dengan Jafar, Firhan, dan Beng. Dikejar-kejar hingga dapur, minta
gendong, minta makan, minta main HP, dll. Lama-lama kami yang jadi tidak
produktif untuk melaksanakan agenda harian.
Sebagian
bermain dengan anak-anak, sebagian lagi memasak di dapur. Masak ikan for the
first time yang kami pasrahkan kepada chef Jafar untuk persiapan alat dan
bahan, dan dilanjutkan chef Erma untuk processing. Tadaa! Jadilah sarapan pagi.
Kami sangat beruntung memiliki tim yang peka, menerima, dan saling melengkapi.
Rutinitas
pagi kami adalah bermain dengan anak-anak, memasak, dan mandi. Itu saja. Mandi
kami masih sering merepotkan tetangga. Sebenarnya itu ajang kami untuk lebih
dekat juga dengan tetangga.
Siang-siang,
ada seorang anak kecil berjualan latu a.k.aanggur laut seharga Rp2.500,00 untuk
satu kantong kresek kecil. Kami membelinya, kemudian mencicipnya. Subhanallah,
asiiiiiiiin banget dan ada sedikit bau amis. Lalu, kami berinisiatif untuk
mencucinya demi mengurangi rasa asin, namun tetap saja asin. Akhirnya kami
biarkan.
Menjelang
sore, kami diajak ke Pajam Hill oleh Tika. Sebuah tempat yang cukup terkenal
disini karena pemandangan yang ditawarkan. Beuh! Di Pajam Hill-lah kami bisa
melihat seluruh Pulau Kaledupa, melihat sunrise dan sunset di satu tempat yang
sama. Melihat Desa Mantigola dan Horuo, tempat teman kami yang lain, dan
membayangkan kehidupannya. Tempatnya hanya berupa satu gazebo dan beberapa
tempat duduk yang berada di bawah pohon besar. Lalu anak laki-laki bermain bola
dengan anak-anak, dan perempuan main mimimi. Kebetulan sekali, Pak Desa juga
main bersama Kia disana. Cukup menyenangkan. Sayangnya, kami tidak bisa
menikmati sunset karena cuaca yang kurang cerah.
Pada
perjalanan ke pondokan, kami menjumpai tiga nenek-nenek yang sedang menenun di
kolong rumah. Kami sengaja mampir untuk melihat langsung proses tenunnya. Sebagai
informasi, terdapat dua motif tenun Pajam yaitu garis lurus dan kotak-kotak.
Garis lurus adalah motif tenun untuk perempuan, dan kotak-kotak adalah motif
tenun untuk laki-laki. Kami juga membandingkan mesin tenun tradisional
kepunyaan nenek-nenek tadi dengan mesin tenun modern yang ada di rumah adat
depan pondokan. Mesin tenun modern merupakan hibah dari pemerintah daerah untuk
melestarikan tradisi tenun Pajam. Satu hal yang kami soroti adalah kenyataan
bahwa banyak remaja perempuan asli Pajam yang tidak bisa menenun.
Akhirnya kami
pulang bersama Tika. Tika kami suguhi dengan latu yang sudah kami cuci.
Sebenarnya lebih kepada kami tidak terlalu doyan latu, sehingga kami suguhka
kepada tamu hehe. Dia yang kasihan kepada kami, mengajak kami untuk masak sayur
latu ke rumah Mama Mimi kemudian.
Latu biasanya
dikasih kelapa goreng dan bisa dijadikan lauk untuk makan. Bumbunya terdiri
dari merica, bawang merah, bawang putih, cabai, asam jawa, garam, dan micin. Kemudian
ditambahkan kelapa goreng dan air. Voila! Jadilah latu. Rasanya enak dengan
tingkat asin yang lebih bisa kami terima.
Kami juga
diberi kasuami sama Mama Bambang dan Mama Mimi. Sebagai informasi, kasuami
disini ada dua macam: kasuami hitam dan putih. Sama-sama berasal dari singkong,
tapi beda dalam prosesnya. Kasuami putih menggunakan bahan segar, sedangkan
kasuami hitam dicampur dengan bahan yang sudah pernah disimpan. Menurut kami,
kasuami hitam mempunyai rasa yang lebih netral untuk dimakan bersama lauk
dibandingkan dengan kasuami putih yang cenderung asam.
Makan malam
yang Kaledupa banget!
Comments
Post a Comment